May 20, 2012

SPONDILOSIS LUMBALIS


1.      Definisi
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). Secara singkat, sponsylosis adalah kondisi dimana telah terjadi degenerasi pada  sendi intervertebral yaitu antara diskus dan corpus vertebra .


2.      Etiologi dan Faktor Resiko
Spondylosis lumbal muncul karena proses penuaan atau perubahan degeneratif.  Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah :
a.    Kebiasaan postur yang jelek
b.   Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c.    Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu:
a.       Faktor usia , beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b.      Stress akibat aktivitas dan pekerjaan, degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c.       Peran herediter, Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d.      Adaptasi fungsional, Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.

3.      Patofisiologi
Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain:
a.    Annulus fibrosus  menjadi kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan muncul retak pada berbagai sisi.
b.   Nucleus pulposus kehilangan cairan
c.    Tinggi diskus berkurang
d.   Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala.
Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa adanya lipping yang disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus yang menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya crush fracture.
Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter dari spinal cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini menimbulkan inflamasi karena jarak diskus membatasi canalis intervertebralis.
Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada foramen intervertebralis.

4.      Gejala klinis
Gambaran klinis yang terjadi tergantung pada lokasi yang terjadi baik itu cervical, lumbal dan thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal memberikan gambaran klinis sebagai berikut:
a.    Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak ada apa-apa dan tidak menjadi suatu masalah sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya ditimbulkan dari aktivitas  tidak sesuai.
b.   Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang sacrum dan sacroiliac joint. Dan mungkin menjalar ke bawah (gluteus) dan aspek lateral dari satu atau kedua hip. Pusat nyeri berasal dari tingkat L4, L5, S1.
c.    Referred pain:
1)   Nyeri mungkin saja menjalar ke arah tungkai karena adanya iritasi pada akar persarafan. Ini cenderung pada area dermatomnya
2)   Paha (L1)
3)   Sisi anterior tungkai (L2)
4)   Sisi anterior dari tungkai knee (L3)
5)   Sisi medial kaki dan big toe (L4)
6)   Sisi lateral kaki dan tiga jari kaki bagian medial (L5)
7)   Jari kaki kecil, sisi lateral kaki dan sisi lateral bagian posterior kaki (S1)
8)   Tumit, sisi medial bagian posterior kaki (S2)
d.   Parasthesia, biasanya mengikuti daerah dermatom dan terasa terjepit dan tertusuk, suatu sensasi ”kesemutan” atau rasa kebas (mati rasa).
e.    Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus erector spinae dan m. quadratus lumborum. Seringkali terdapat tonus yang berbeda antara abduktor hip dan juga adductor hip. Kadang-kadang salah satu otot hamstring lebih ketat dibanding yang lainnya.
f.    Keterbatasan gerakan, semua gerakan lumbar spine cenderung terbatas. Gerakan hip biasanya terbatas secara asimetrical. Factor limitasi pada umumnya disebabkan oleh ketetatan jaringan lunak lebih dari spasm atau nyeri.
g.   Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot abdominal dan otot gluteal. Kelemahan mungkin terjadi karena adanya penekanan pada akar saraf myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang mengalami nyeri menjalar biasanya lebih lemah dibandingkan dengan tungkai satunya.
h.   Gambaran radiografi, terdapat penyempitan pada jarak discus dan beberapa lipping pada corpus vertebra.

5.      Pemeriksaan pencitraan
X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan komplikasi. Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.
CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 
Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.

6.      Komplikasi
Skoliosis merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah karena Spondilosis. Hal ini terjadi karena pasien selalu memposisikan tubuhnya kearah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal. Hal ini didukung oleh ketegangan otot pada sisi vertebra yang sakit.

7.      Penatalaksanaan
a.    Penatalaksanaan Medis
Terdiri dari pengobatan konservatif dan pembedahan. Pada pengobatan konservatif, terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif.
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit motorik.  Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain: Operasi dekompresi, Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil, dan Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
b.   Penatalaksanaan Fisioterapi
Tujuan tindakan fisioterapi pada kondisi ini yaitu untuk meredakan nyeri, mengembalikan gerakan, penguatan otot, dan edukasi postur. Pada pemeriksaan (assessment) yang perlu diidentifikasi adalah:
1)      gambaran nyeri
2)      factor pemicu pada saat bekerja dan saat luang
3)      ketidaknormalan postur
4)      keterbatasan gerak dan faktor pembatasannya.
5)      Hilangnya gerakan accessories dan mobilitas jaringan lunak dengan palpasi.
Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah melakukan assessment tersebut. Adapun treatment yang bias digunakan dalam kondisi ini, adalah sebagai berikut:
1)      Heat , heat pad dapat menolong untuk meredakan nyeri yang terjadi pada saat penguluran otot yang spasme.
2)      Ultrasound, sangat berguna untuk mengobati thickening yang terjadi pada otot erector spinae dan quadratus lumborum dan pada ligamen (sacrotuberus dan saroiliac)
3)      Corsets, bisa digunakan pada nyeri akut
4)      Relaxation, dalam bermacam-macam posisi dan juga pada saat istirahat, maupun bekerja. Dengan memperhatikan posisi yang nyaman dan support.
5)      Posture education, deformitas pada postur membutuhkan latihan pada keseluruhan alignment tubuh.
6)      Mobilizations, digunakan untuk stiffness pada segment lumbar spine, sacroiliac joint dan hip joint.
7)      Soft tissue technique, pasif stretching pada struktur yang ketat sangat diperlukan, friction dan kneading penting untuk mengembalikan mobilitas supraspinous ligament, quadratus lumborum, erector spinae dan glutei.
8)      Traction, traksi osilasi untuk mengurangi tekanan pada akar saraf tetapi harus dipastikan bahwa otot paravertebral telah rileks dan telah terulur.
9)      Hydrotherapy, untuk relaksasi total dan mengurangi spasme otot. Biasanya berguna bagi pasien yang takut untuk menggerakkan spine setelah nyeri yang hebat.
10)  Movement, hold relax bisa diterapkan untuk memperoleh gerakan fleksi. Bersamaan dengan mobilitas, pasien melakukan latihan penguatan untuk otot lumbar dan otot hip. 
11) Advice , Tidur diatas kasur yang keras dapat menolong pasien yang memiliki masalah sakit punggung dan saat bangun, kecuali pada pasien yang nyeri nya bertambah parah pada gerakan ekstensi. Jika pasien biasanya tidur dalam keadaan miring, sebaiknya menggunakan kasur yang lembut.




2 comments: